
Pringsewu (PL) – Menyebut atau mendengar nama Pringsewu, maka yang akan tergambar dalam benak pikiran kita adalah serumpun bambu atau hutan bambu. Dimana, nama “Pringsewu” sendiri tidak bisa dilepaskan dari historia “Hutan Bambu” yang dahulunya ada di Tiuh (Perkampung) Margakaya yang dihuni oleh masyarakat asli Lampung suku Pubian.
Melalui program kolonisasi pemerintahan belanda di tahun 1925, masuklah masyarakat asal Pulau Jawa yang kemudian membabat kawasan hutan bambu itu, menjadi areal pemukiman baru. Mereka kemudian menamai daerah tempat tinggalnya dengan nama “Pringsewu”. Dari sinilah, tonggak awal nama “Pringsewu” yang memiliki arti “Seribu Bambu” menjadi sebuah kawasan pemukiman.
Pemanfaatan tanaman bambu di Indonesia telah berlangsung lama. Masyarakat pedesaan di zaman dahulu sudah mengenal dan menggunakan bambu untuk berbagai keperluan penunjang hidup, seperti membuat rumah atau perabotan rumah tangga.
Salah satu keunggulan bambu selain sebagai tanaman konservasi lingkungan adalah, kemampuannya dalam menjaga ekosistem air. Dimana, lahan tanah yang ditumbuhi rumpun bambu biasanya akan terlihat lebih subur dan tidak mudah erosi. Sebab, air akan lebih mudah menyerap kedalam tanah yang ditumbuhi tanaman bambu.
Selain berpotensi besar dijadikan sebagai tanaman konservasi lingkungan, bambu juga cukup memiliki nilai ekonomis. Apalagi, bila bambu kita olah menjadi produk-produk kerajinan bernilai estetika dengan keunikannya.
Sayangnya, meski memiliki potensi yang cukup besar sebagai tanaman konservasi lingkungan dan juga tanaman produktif lainnya, berbagai varietas tanaman bambu di Indonesia pada saat ini dalam kondisi terancam punah, termasuk di Kabupaten Pringsewu.
Berbagai jenis tertentu dari tanaman ini hanya bisa ditemui di daerah-daerah tertentu. Sebagai contoh, sebagaimana dituturkan Ketua Yayasan Bambu Indonesia, Jatnika, bambu jenis eul-eul hanya terdapat di Hutan Soreang, Jawa Barat. Bambu betung, dengan diameter 20-30 centimeter yang bisa digunakan untuk bahan bangunan, hanya terdapat di hutan Majalengka, Jawa Barat.
Sebagai tanaman non kayu, bambu memiliki karkter mampu menyimpan banyak cadangan air dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan lainnya. Pohon dengan akar serabut ini, memiliki beragam jenis dan bentuk. Diantaranya ada bambu wulung (item), bambu petung, bambu kuning dan bambu apus (tali).
Bambu apus sendiri merupakan bambu yang paling banyak digunakan masyarakat selama ini dalam membuat rumah. Alasannya, karena bambu ini bentuknya lurus, memiliki struktur yang kuat, serta bersifat liat. Selain itu, bambu ini juga sering dimanfaatkan untuk membuat anyaman karena memiliki serat yang panjang.
Sementara itu, bambu dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Pringsewu, sejatinya bukan merupakan barang baru. Sebab, hingga saat ini masyarakat yang tinggal di wilayah Kecamatan Gadingrejo, seperti di Tulung Agung, Kediri, Mataram dan sebagian Yogyakarta, sudah terbiasa memanfatkan bambu tali (bambu apus) dalam membuat beraneka ragam ayaman.
Mereka mengolah bambu tali (bambu apus) menjadi kurungan ayam, tampah, ceting, besek (piti) dan tusuk sate, lalu dijual kepada pengepul untuk kemudian dipasarkan. Dari sini juga, proses kegitan ekonomi dalam sekup yang kecil dilakukan masyarakat Kabupaten Pringsewu.
Sayangnya, belum adanya sentuhan permodalan dan juga peningkatan kapasitas terhadap para pelaku di bidang industri kreatif ini, membuat produk kerajinan bambu yang dihasilkan masyarakat di Kecamatan Gadingrejo, jumlahnya masih sangat terbatas. Disisi lain, produk kerajian yang dihasilkan pun tidak mengalami perubahan serta inovasi di setiap tahunnya.
Padahal, banyak produk kerajianan berbahan dasar bambu yang bisa diolah dan dihasilkan masyarakat, manakala mereka memiliki keterampilan lebih di bidang pengolahan bambu. Seperti teko dan gelas bambu, nampan bambu, pigura bambu, tempat tisu, tempat buah, lampu hias bambu, tirai bambu, geribik motif, gazebo, rumah bambu serta produk kerajinan berbahan baku bambu lainnya yang seringkali dicari dan dibutuhkan para pelaku kuliner yang ingin membangun tempat usahanya dengan konsep dan kontruksi serba bambu.
Kelemahan lain yang juga dihadapi para pelaku di bidang kerajinan bambu di Kabupaten Pringsewu yakni soal ketersedian bahan baku bambu yang dibutuhkan. Mereka selama ini terpaksa membeli dan memesan bambu hingga keluar daerah seperti Tanggamus, Pesawaran dan Lampung Tengah, lantaran sulitnya mendapatkan bambu dengan kualitas yang memadai.
Di Kabupaten Pringsewu, program penanaman bambu mulai digalakkan pemerinth daerah sejak tiga tahun yang lalu yakni di tahun 2016, namun program ini dirasa masih sebatas program yang tidak menekankan pada sasaran dan target yang hendak dicapai.
Akibat tidak adanya perawatan yang dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat, tanaman bambu yang sudah ditanam banyak yang mati. Seperti yang terjadi di areal lahan dekat bantaran Sungai (Way) Sekampung yang melintasi wilayah Pekon/Desa Bumi Ayu Kecamatan Pringsewu dan juga wilayah Pekon/Desa Kediri Kecamatan Gadingrejo.
Disamping itu, masih lemahnya komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Pringsewu guna mengembangkan “Bambu” sebagai upaya mendorong lahirnya pelaku-pelaku di bidang industri kreatif ini, semakin menjauhkan bambu dari perhatian masyarakat.
Disisi lain, adanya anggapan sebagian orang kalau tanaman bambu selama ini menjadi tempat dimana ular bersarang, dan bambu bukan merupakan tanaman yang menguntungkan secara hitung-hitungan ekonomi layaknya padi sawah, jati, sengon dan albasih, semakin memperkokoh “tembok pembatas” pemahaman dan wawasan masyarakat akan manfaat dan kegunaan bambu secara utuh dan ekonomis.
Padahal, peluang pasar akan pasokan bambu yang tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan industri di bidang kerajian dan juga konstruksi, kini semakin terbuka lebar. Sebab, dunia industri tekstil saat ini sudah mulai beralih menggunakan serat bambu sebagai pengganti kapas. Kondisi ini menyusul,serat bambu memiliki kualitas yang lebih baik dari kapas.
Satu Dekade Kabupaten Pringsewu Membangun, seyogyanya semangat dan optimisme yang masih dimiliki pemerintah daerah dan juga masyarakat, bisa menjadi titik balik guna bersama merefleksi diri, meneguhkan kembali komitmen akan pelestarian dan penggembangan bambu sebagai potensi dan aset lokal yang bernilai ekonomis.
Sikap dan langkah optimisme ini juga tentunya bisa dibarengi dengan adanya sebuah aturan, baik itu berupa peraturan daerah (Perda) dan atau Peraturan Bupati (Perbup) tentang Perlindungan dan Pelestarian Bambu di Kabupaten Pringsewu.
Adanya payung hukum (Perda dan Perbup) ini, paling tidak bisa menjadi semacam acuan dan pedoman bagi pemerintah daerah merumuskan rencana program jangka menengah daerah (RPJMD) dan langkah-langkah strategis berkesinambungan berkaitan dengan pelestarian dan penggembangan bambu sebagai sumber kehidupan dan ekonomi bagi masyarakat.
Ki mak gham sapa lagi, ki mak ganta kapan lagi. Mungkin kalimat slogan ini bisa menjadi semacam “pelecut” bagi kita semua, untuk bersama-sama ikut berpartisipasi dalam rangka membangun dan melestarikan bambu di Bumi Jejamac Secancanan yang Bersahaja. (Syaifullah)