BERITA TERKINILAMPUNGPringsewu

Mediasi Antara Pengusaha Penggilingan Padi Dan Warga Di Pringsewu Tak Juga Ada Titik Temu…

[su_animate][su_highlight background=”#cf141c”]Penalampungnews.com[/su_highlight][/su_animate]

Pringsewu – Musyawarah mediasi antara pengusaha penggilingan padi dan warga yang tidak menyetujui beroperasinya pabrik penggilingan padi yang berada di pemukiman warga berjalan alot. Kedua belah pihak yang merasa benar tetap kekeh dengan pendiriannya. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPST) Kabupaten Pringsewu, Uspika Kecamatan Pardasuka serta Kepala Pekon Sidodadi Kecamatan Pardasuka sebagai mediator tak dapat berbuat banyak untuk menengahi persoalan tersebut. Mediasi yang sudah ke dua kalinya ini bertempat di Aula Kecamatan Pardasuka (Selasa, 21/11) berlangsung dari pukul 09.00 hingga pukul 11.45 WIB. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh para pihak yang berseteru baik pemilik Pabrik penggilingan padi juga dihadiri oleh warga yang menolak atas beroperasinya pabrik tersebut. Sebanyak 7 Kepala keluarga RT. 02 Rw. 01  Dusun I Pekon Sidodadi yang hadir dalam pertemuan tersebut mengungkapkan bahwa keputusan warga sudah bulat untuk menolak beroperasinya kembali pabrik penggilingan padi tersebut. Mengingat bahwa dahulu saat pabrik  beroperasi mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan terutama soal polusi yang dihasilkan seperti kualitas udara yang kotor, debu tebal mengotori jemuran, bak mandi bahkan hingga sumur ditambah suara bising dari mesin.

Menurut hartanto  pabrik penggilingan dengan pemilik atas nama H. Tukiyo tersebut mulai beroperasi tahun 1991 kemudian pada tahun 2006 diprotes karena limbah serta polusi yang dihasilkan pabrik cukup meresahkan warga dan diadukan ke Dinas Pertambangan Energi dan Perizinan (saat itu masih) Kabupaten Tanggamus.

“ Saat itu kesepakatan yang ditandatangani oleh tokoh masyarakat serta kepala pekon  bahwa pabrik tersebut harus direlokasi dengan tengat waktu 6 bulan sampai 1  tahun, pada tahun 2007 pabrik tak lagi beroperasi, tiba –tiba di 2017 ini terbit ijin baru dengan pemilik yang baru atas nama H. Hanif Rosidi dengan nama perusahaan PP Sri Rejeki,” ungkapnya

Dalam proses ini lanjut Hartanto banyak kejanggalan- kejanggalan baik proses pembuatan ijin  lingkungan maupun data yang ada dalam dokumen PP Sri Rejeki tersebut diduga juga tidak sesuai.

“ Dalam proses penandatanganan ijin lingkungan tidak melibatkan RT kemudian warga yang berbatasan langsung dengan pabrik dan terdampak langsung dengan adanya kegiatan pabrik tersebut tidak di mintai tanda tangan dan rata-rata yang mengisi tanda tangan adalah warga yang jauh dari lokasi pabrik kemudian kejanggalan lainya seperti yang tercantum dalam dokumen misalnya dalam dokumen Tanda Daftar Industri (TDI) disebutkan bahwa kapasitas mesin adalah 24 PK padahal kenyataanya mesin dudah menggunakan silinder (CC) kemudian pada Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH) disebutkan luas lahan 100 m2 padahal luas yang ada lebih dari 3000 m2. Indikasi apa ini, saya sebagai wakil dari masyarakat meminta kepada pihak terkait agar meninjau kembali ijin operasi pabrik tersebut.” ungkapnya.

Sementara itu Anif Rosadi selaku pemilik pabrik PP Sri Rejeki mengatakan sudah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi apa yang menjadi keluhan warga sekitar.

“ Saya minta warga menghargai apa yang sudah saya upayakan untuk meminimalisir potensi polusi seperti apa yang dikeluhkan warga, untuk asap mesin serta debu penggilingan sudah saya buatkan cerobong di bagian belakang mudah mudahan tidak ada lagi debu atau asap, kemudian saya juga sudah menanam pohon agar kedepan pohon tersebut mampu meyerap polusi yang ada di sekitar pabrik, dan saya pun sudah berupaya melaksanakan ketertiban umum serta senantiasa membina hubungan yang baik dengan warga sekitar,” Pintanya.

Menjelang akhir musyawarah, karena tidak adanya kesepakatan antara kedua belah pihak maka akhirnya Kepala Dinas PMPTSP Akhmad fadholi, M.Si akhirnya memberikan 2 opsi yang akan disampaikan keputusannya dalam pertemuan selanjutnya.

“saya berikan dua opsi, pertama pabrik tetap beroperasi dengan ketentuan pihak pemilik pabrik mengatasi persoalan yang dikeluhkan warga dan opsi yang kedua Pabrik ditutup tetapi pihak yang keberatan atas beroperasinya pabrik mampu membuktikan bahwa pabrik tersebut telah melakukan polusi seperti apa yang dikelukkan warga.” Putusnya.

Untuk diketahui bahwa s cvesuai dengan UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan pada pasal 33 disebutkan bahwa barang siapa melakukan atau menyuruh melakukan pendafraran secara keliru atau tidak lengkap dalam Daftar Perusahaan diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah). (NA)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button