BERITA TERKINILAMPUNGLampung Timur

Deklarasi Anti “HOAX”, Sekertaris PWI Lamtim Angkat Bicara …

[su_animate type=”bounceInDown” duration=”0.5″ delay=”0.5″][su_highlight background=”#cf141c” color=”#f5f2f2″]Penalampungnews.com[/su_highlight] |[/su_animate]
Lampung Timur| Sekretaris PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Lampung Timur, Musannif Effendi mengatakan,”pers di Indonesia sudah relatif bebas, salah satunya dilihat dari tumbuhnya kuantitas media karena kemudahan untuk mendirikannya, menurut catatan Dewan Pers, dari total 47 ribu media di Tanah Air, sebanyak 2.000 merupakan media cetak, 1.500 radio dan TV serta 43.500 media online.


Meski mudah dan dijamin oleh demokrasi, pers hendaknya tetap bertanggung jawab dan netral. Pers hendaknya juga menyalurkan suatu kebenaran karena itu masyarakat juga hendaknya mampu memilah berita-berita yang tersebar luas untuk menghindari kabar hoax yang kerap muncul dizaman ini.

Fendi sapaan akrabnya menilai bahwa “hoax” atau berita bohong menjadi marak akibat rendahnya literasi masyarakat terhadap informasi yang tersaji di media maupun media sosial. Rendahnya literasi masyarakat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya kecenderungan hanya membaca judul tanpa melihat, apalagi memahami isi berita. Dalam statistik sebuah lembaga, hampir 40 persen konten di medsos tidak pernah dibuka. Padahal, sebagian konten “hoax” itu judulnya pasti bombastis, sedangkan isinya tidak ada apa-apanya. Fakta inilah yang menjadi salah satu cikal bakal hoax.

Ia melanjutkan, Pada masa Orde Baru, Pers dinilai sebagai kebenaran di samping pemerintah yang otoriter dan membatasi seluruh aktivitas dari pers sendiri. Masyarakat mau tidak mau harus menerima berita yang disuarakan oleh pers. Namun dengan kebebasan pers, batasan tersebut semakin hilang dan hal ini menyebabkan pers sangat rawan disalahgunakan. Terlebih lagi budaya masyarakat Indonesia yang mudah percaya akibat kurangnya penelaahan berita yang diperburuk oleh zaman Orde Baru.

“Dengan makin mudahnya akses informasi dan masyarakat mampu menjadi penyebar informasi. Terkesan bahwa pers tidak ada batasannya. Pemerintah hendaknya juga tegas terhadap pers yang terindikasi disalahgunakan. Pers harus memiliki karakter dengan membuat berita fakta bukan opini, dengan pers yang bertanggung jawab dan budaya gemar membaca, berita hoax dapat diminimalkan di samping berjayanya kebebasan pers di Indonesia,” papar fendi.

Pelaku penyebar hoax bisa terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. Di dalam pasal itu disebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

“Jadi mulai sekarang setiap orang harus berhati-hati dalam menyebarkan pesan

berantai lewat perangkat elektronik. Sekarang banyak pesan pendek (SMS), maupun e-mailhoax yang berseliweran. Yang mem-forward, disadari atau tidak, juga bisa kena karena dianggap turut mendistribusikan kabar bohong,” jelasnya.

Apabila masyarakat mendapat pesan berantai yang hoax, agar tak sembarang menyebarkannya. “Laporkan saja kepada polisi, pesan hoax harus dilaporkan ke pihak berwajib karena sudah masuk delik hukum. Setelah laporan diproses oleh pihak kepolisian, baru kemudian polisi bisa melakukan penyidikan dengan bekerja sama bersama dengan dinas Komunikasi dan Informatika, dan segenap operator telekomunikasi,” urai sekretaris pwi lamtim tersebut.(Rls/Eri)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button